06 Maret, 2012

Straw Man

Ilustrasi, Rob Hobkins
Straw Man, kalau di indonesia mungkin sama dengan orang-orangan sawah. Boneka horor yang fungsinya untuk menakuti dan mengusir burung.

Dalam perdebatan, seringkali lawan kita punya argumen yang sulit bantah atau sulit diserang. Strawman bisa kita summon untuk membuat kita tampak cerdas, menang dan membuat umat yang menyaksikan perdebatan memihak kita. Malah bisa sekalian membuat lawan bingung dan terpengaruh.

Begini contohnya:

Lawan kita menolak usul kita untuk membeli Tank jadul bekas latihan perang negeri asing, selain harganya kemahalan, juga bukan waktunya buang uang untuk investasi di persenjataan organik, terlebih saat ini kita sedang diserang, dipecahbelah dan dimangsa lewat ekonomi, pikiran dan budaya.

Kita yang butuh sripilan dari transaksi tank bisa repot melawan argumen macam itu, jalan terbaik adalah kita pakai taktik straw man, jawab begini:

"Apaaaaah?!?!? Jadi kamu ingin negara kita tidak punya pertahanan? Itu akan membuat tanah tumpah darah kita terbuka lebar untuk diserang agressor!!! Dasar kamuh tengik penghianat bangsah! Kamu suka kalau negara kita lemah ya? hah? Hah? HAH!!?"

Perhatikan baik-baik, yang diserang sebenarnya bukan argumen lawan, tapi strawman yang kita munculkan sebagai pengganti argumen lawan. 

Ini rumusnya:
  1. Lawan punya argumen X
  2. Kita summon Y (yaitu X yang sudah kita distorsi)
  3. Kita serang argumen Y dengan ganas.
  4. X berhasil dibuat tampak salah, lawan kalah, umat pun memihak kita.

Contoh lain:

Lawan Anda adalah gerombolan liberal yang tidak suka dengan berbagai aksi kekerasan yang sering kita lakukan sambil mengatasnamakan agama Z.

"Hentikan kekerasan, apalagi yang mengatasnamakan Agama! Itu melanggar HAM dan memecah belah bangsa!" Teriak mereka sambil menyodorkan berbagai ayat yang menganjurkan perdamaian.

Daripada kita jawab panjang lebar sambil mencari-cari ayat suci yang membenarkan kekerasan, kebencian dan disintegrasi.... Dan membuat citra agama Z yang sudah buruk jadi semakin buruk, jelas lebih praktis untuk panggil strawman saja. Jawab begini:

"Hei kamuh kafir laknatubi, kami lakukan itu demi membela agama Z. Barang siapa tidak mendukung kami berarti bukan umat Z. Dan barang siapa yang bukan Z tapi berani melawan kami berarti darahnya legal untuk ditumpahkan!! Hidup Z!!!"

Dengan begitu lawan diskusi akan ketakutan sampai terkencing-kencing, sedangkan penonton yang dungu pasti tak cukup awas untuk melihat kesalahan logika yang sengaja kita lakukan. Sering-sering suguhi mereka dengan diskusi licik begini, dalam waktu singkat mereka akan terindoktrinasi untuk memihak kita.

Jangan lupa, sedikit bumbu ad hominem akan membuatnya lebih afdolsurafdol.

Yak, begitulah kurang-lebih penjelasannya. Silakan menambahkan jika ada yang kurang.

Jadi, berapa kali dalam sehari Anda menyaksikan taktik semacam ini digunakan untuk pembodohan? Ada yang menarik? Bagi tahu saya dong :)
7

7 komentar:

  1. Halo Om Gorila!

    Sori, yang tadi ada kesalahan teknis. Jadinya gue apus. Tapi tetep, gue komeng pertamax nih. Senangnya... Tapi pada males komeng keknya, Om. Abis Om Gorila mukanya serem sih. Ganti dong pake yang cakep, gitu. Tapi tulisannya cakep kok, Om. Impas lah sama muka seremnya.

    Anu ini, Om Gorila. Cuma mau ngingetin...

    Dari paragraf:
    Lawan Anda adalah banci-banci yang tidak suka dengan berbagai aksi kekerasan yang sering kita lakukan sambil mengatasnamakan agama Z.

    Banci, Om? Kenapa mesti bawa-bawa banci? Mereka juga korban indoktrinasi lho. Banci itu alamiah. Kalo nggak percaya, cari deh literatur-literatur kedokteran tentang itu. Gimana tuh, Om?

    Jawab yaaa. Kalo nggak dijawab batal ganteng!

    BalasHapus
  2. Males komentar itu bukan karena saya gorilla, tapi karena masih shock akibat membaca blog ini, hari-hari yang tadinya damai jadi penuh taktik indoktrinasi, Segala manipulasi yang sebelumya tidak tampak sekarang jadi kelihatan telanjang dan menggeuleuhkan. #heuleuh

    Soal banci, kenapa keberatan?
    1. Itu cuma contoh
    2. Saya posisikan banci sebagai protagonis, pihak yang tidak suka kekerasan dan sadar akan bahaya disintegrasi bangsa, posisinya justru lebih baik daripada para hardliner yang antagonis.
    3. Tidak ada usaha saya untuk menyerang atau mengatakan mereka tidak alamiah.
    4. Diakui atau tidak, saya ganteng itu fakta. Yang tidak mengakui berarti tidak akan masuk surga.

    Coba dibaca lagi dengan seksama.

    BalasHapus
  3. Om Gorila, kalo kata dosen gw, people live by consequences. Kecuali Om Gorila emang bukan orang, live with it.

    Dengan bawa-bawa kata "banci" Om Gorila sama aja melestarikan efek indoktrinasi itu sendiri. Iya, itu memang contoh. Iya, Om Gorila emang nggak nyerang kata "banci" itu sendiri. Tapi mengingat gimana cela-celaan yang ada kata "banci"-nya selalu merujuk pada hal-hal berkonotasi negatif, mau nggak mau yang baca juga udah digiring duluan sama asumsi ini. Meskipun secara positioning emang jadinya lebih baik daripada para hardliner, tapi tetep. Two wrongs don't make it right.

    Kalo Om Gorila tau buku 1984-nya George Orwell, di situ ceritanya negara punya departemen yang tugasnya khusus memangkas bahasa atau memodifikasi kata biar orang-orangnya nggak bebas berekspresi. Salah satu bentuk ekspresi manusia kan dari bahasa, Om Gorila. Bahasa itu alat untuk mengkomunikasikan apa yang ada dalam pikiran, perasaan, keinginan. Kalo dari bahasa aja bikin manusia terbatas, maka keliaran-keliaran pikiran juga bakal mati, pertanyaan nggak bisa diajukan dan indoktrinasi bakal tumbuh subur di benak-benak seperti itu. Intinya, 1984 kek gitu lah. 11-12 sama apa yang sedang Om Gorila usahakan.

    Sekarang lupakan Eyang Orwell. Nah, kenapa gw protes sama pemakaian kata "banci", itu karena Om Gorila pake "banci" jadi straw man. Gw nggak setuju ada pihak lain dipanggil-panggil. Nggak ada urusannya sama argumentasi. Tch. Naughty-naughty you, Om Gorila. Dan fakta Om Gorila ganteng? Aw... Surga-neraka cuma berhasil jadi alibi guru agama pas jaman gw SD. Mestinya Om Gorila bilang: kalo ga percaya saya ganteng ntar nggak punya-punya pacar. Gituuu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sikap masyarakat terhadap banci memang banci tapi rendong. Konotasinya selalu jelek, sering mengemis sepanjang jalan, suka begadang di taman lawang, suka menghisap lelaki hidung belang, bahkan diantara anak-anak kalau ada yang tidak berani merokok juga dikatain banci.

      Tapi lihat di TV, berbagai jenis banci justru menghidupkan dan meningkatkan rating banyak acara, menghidupkan banyak peternak alay, dan menghibur para ibu, bapak dan abege rumah tangga.

      Ok, katakanlah itu sama-sama negatif, walau sudah masuk showbiz elit tapi urusannya masih propaganda hura-hura dan konsumerisme.

      Karena itu, kebalikan dari kisah Orwell, dimana penguasa memenjarakan manusia lewat kata, saya justru arahnya membebaskan. Dalam hal ini melepaskan banci dari konotasi yang selalu negatif. Saya memunculkan banci tidak cuma ke TV untuk hura-hura atau acara pembodohan, tapi ke blog bertema edukasi untuk tujuan membuka pikiran. Bahkan saya beri peran protagonis yang bahkan lebih berani dan jantan daripada para lekong berotot yang cuma bisa berdiam diri saat negaranya dipecah belah pakai agama dan pembodohan.

      Ternyata.... Ah sudah lah. Ternyata masyarakat memang belum siap. Banci tampil di blog saja jadi perdebatan panjang. Saya mengalah deh, saya akan singkirkan kata yang menakutkan itu dari blog ini.

      Hapus
    2. Ih, Om Gorila ngambek ya? ((=

      Bukan gitu, Om. Gw kasian aja ama temen-temen transgender, sama kasiannya sama anak-anak autis yang sebutannya jadi negatif. Atau mungkin gw yang emang udah kena semacem "indoktrinasi" arti kata makanya jadi sensi. Tapi sepertinya saya menang kuis deh, Om (=

      Anyway, makasih ya, Om Gorila. You made my night. Hihi.

      Hapus
    3. Kasihan, tapi melarangnya memerankan peran baik. Aneh sekali.

      Sama-sama.

      Hapus
    4. Iya juga ya. Aneh juga gw. Abisnya kesan dari kata "banci" itu masih derogatory sih, Om. Gw kan korban indoktrinasi dari kata "banci". Rada susah kalo cuma mau bikin sadar dalam satu posting doang.

      Maafin ya, Om Gorila...

      Hapus