Untuk apa mengalihkan perhatian? Untuk apa memberi jawaban panjang lebar dan berputar-putar tanpa sedikitpun menjawab pertanyaan?
Supaya fakta-fakta yang tidak menyenangkan tidak perlu muncul ke permukaan :))
Dalam acara TV, dimana para pembela penjahat dikumpulkan untuk mempengaruhi opini publik, diundanglah seorang kepala polisi untuk ditanya soal pengusutan pembantaian yang terjadi di pulau seberang. Dengan lihai dia berkata-kata panjang lebar, menerangkan tugas kepolisian, tanpa sedikitpun menjawab apa yang ditanyakan MC.
Beliau sadar bahwa waktu siaran terbatas. Dengan mengeluarkan kata-data yang tidak perlu, beliau sukses menghabiskan waktu dan menghindar dari keharusan menjawab pertanyaan.
INDOKTRINESIA
meraba-raba dan menelanjangi berbagai trik manipulasi pikiran
20 Maret, 2012
13 Maret, 2012
Bundelanisme memaksa kamu menelan semuanya
Bayangkan saja. |
Begitulah ciri utama bundelanisme, sebuah taktik ampuh dalam indoktrinasi.
Contoh yang paling jelas tentu agama, karena sebagai orang beragama pasti kita akrab sama bundelan indoktrinasi yang satu itu.Tapi itu kamu teliti dan jabarkan sendiri saja. Di sini kita main aman aja, kita pakai contoh lain yang lebih sopan:
12 Maret, 2012
Pentingnya Sensor dalam Pelestarian Kekuasaan
Melindungi Anda dari Kenyataan |
Kita lebih mudah diindoktrinasi jika sejak kecil dibiasakan menelan mentah-mentah segala informasi terdistorsi sebagai fakta, padahal kebanyakan yang kita telan itu adalah informasi yang sudah dimutilasi, sudah disensor oleh mereka yang kita hormati.
Memang sepanjang sejarah, para penguasa tercatat gemar melakukan sensor informasi. Perlu diingatkan?
- Dicap kafir dan dibungkam sampai mati karena menyebarkan informasi bahwa bumi mengelilingi matahari, oleh gerombolan yang diyakini lebih dekat dengan Tuhan.
- Bakar-bakar buku karena isinya tidak sesuai dengan kepentingan rezim yang berkuasa:
- Di Zaman Mongol Baitul Hikmah dibakar,
- Zaman dinasti Qin tak cuma buku dibakar, orangnya sekalian.
- Nazi bakar buku, musuhnya juga ikutan.
- Dan lain-lain. Silakan beri contoh sensor informasi di Indonesia, tapi jangan aksi pak Tiffy, secara beliau masih berkuasa, ndak sopan nanti ;)
Ada pula sensor yang halus lembut,
08 Maret, 2012
Ad Hominem, logika favorit kita semua
Muke lu Fallasiyah! - ohinternet. |
Weits, saya tidak sedang menyindir kaum taat beragama lho. Memang itu taktik utama dikalangan mereka, tapi sebenaranya kita yang tidak terlalu taat juga sering melakukannya dalam keseharian.
Mekanismenya praktis, dua langkah mudah. Pertama, cari kebusukan si pembawa pesan, boleh prilakunya, motivasinya, sukunya, latar belakangnya, tampangnya atau apapun. Kalau sulit dicari ya kreatif, buat-buat sendiri saja kebusukan si pembawa pesan. Langkah kedua, gunakanlah kebusukan itu sebagai dalil sahih untuk menyerang pesan yang disampaikan.
Jadi alur logikanya gini:
- Si A mengatakan X
- Si B menyerang pribadi A
- X salah
07 Maret, 2012
Taktik Dagang Babi, sejarah dan tips mengatasinya
ilustrasi babi berjenggot -wiki |
"Gak usah dagang babi deh lu!"
Lalu sodorkan tulisan ini.
Kenapa? Bacalah sejarahnya... Bacalah...
06 Maret, 2012
Straw Man
Ilustrasi, Rob Hobkins |
Dalam perdebatan, seringkali lawan kita punya argumen yang sulit bantah atau sulit diserang. Strawman bisa kita summon untuk membuat kita tampak cerdas, menang dan membuat umat yang menyaksikan perdebatan memihak kita. Malah bisa sekalian membuat lawan bingung dan terpengaruh.
Begini contohnya:
Lawan kita menolak usul kita untuk membeli Tank jadul bekas latihan perang negeri asing, selain harganya kemahalan, juga bukan waktunya buang uang untuk investasi di persenjataan organik, terlebih saat ini kita sedang diserang, dipecahbelah dan dimangsa lewat ekonomi, pikiran dan budaya.
Kita yang butuh sripilan dari transaksi tank bisa repot melawan argumen macam itu, jalan terbaik adalah kita pakai taktik straw man, jawab begini:
05 Maret, 2012
Adu Domba
Adu domba, pecah belah, divide et impera tidak cuma terjadi di zaman
Belanda. Hari ini pun masih sering terjadi. Rakyat di adu, supaya sibuk
sendiri, sementara para penguasa menikmati berbagai hasilnya.
Dulu jaman SD, saya memahami taktik ini sebagai : mengadudomba calon mangsa agar lemah dan tidak kompak, lalu Belanda datang sebagai musuh dari semuanya dan dengan mudah mengalahkan domba-domba dungu yang lelah saling bertempur itu. Ternyata kini prakteknya jauh lebih lebih kompleks. Yang melakukan pun bukan kompeni “dari luar sana”, tapi justru oleh para pimpinan dan pemuka kita sendiri.
Jika ada “musuh bersama”, maka sang indoktrinator bisa memposisikan diri sebagai “pelindung” atau “pembela umat” dari ancaman musuh. Dengan begitu umat jadi lebih mudah diatur dan dipengaruhi. Itulah makanya banyak pemimpin yang menyukai taktik ini.
Atau jika umat mulai tidak setia, tidak patuh, dan terancam bubar, maka
Dulu jaman SD, saya memahami taktik ini sebagai : mengadudomba calon mangsa agar lemah dan tidak kompak, lalu Belanda datang sebagai musuh dari semuanya dan dengan mudah mengalahkan domba-domba dungu yang lelah saling bertempur itu. Ternyata kini prakteknya jauh lebih lebih kompleks. Yang melakukan pun bukan kompeni “dari luar sana”, tapi justru oleh para pimpinan dan pemuka kita sendiri.
Jika ada “musuh bersama”, maka sang indoktrinator bisa memposisikan diri sebagai “pelindung” atau “pembela umat” dari ancaman musuh. Dengan begitu umat jadi lebih mudah diatur dan dipengaruhi. Itulah makanya banyak pemimpin yang menyukai taktik ini.
Atau jika umat mulai tidak setia, tidak patuh, dan terancam bubar, maka
04 Maret, 2012
Glorifikasi dan Demonisasi
Glorifikasi itu aksi melebih-lebihkan sesuatu hingga hingga terkesan hebat luar biasa, sangat suci, atau sempurna tanpa cela. Sedangkan demonisasi adalah melebih-lebihkan keburukan atau kejahatan hingga sesuatu
jadi tampak buruk luar biasa, jahat sempurna, tidak ada sedikitpun
kebaikannya.
Dengan taktik tersebut, emosi korban dipermainkan dan dipengaruhi agar sangat memuja pihak kawan secara berlebihan dan membenci pihak musuh juga secara berlebihan. Saking bencinya, korban indoktrinasi tidak akan terpikir untuk mendengarkan penjelasan dari musuh, apalagi memahami alasan-alasan dibalik tindakannya. Pokoknya kata pemimpin dia musuh, jahat sangat, harus diperangi.
Taktik glorifikasi demonisasi dapat dikatakan berhasil jika korban indoktrinasi tidak bisa lagi melihat, atau malah sengaja mengabaikan segala kesalahan/keburukan yang dilakukan pihak kawan tapi tetap bersemangat untuk kritis pada berbagai keburukan yang dilakukan pihak lawan.
Taktik ini biasanya diterapkan oleh para pemimpin yang menggunakan taktik pecah belah (divide and rule / adu domba) untuk melestarikan kekuasaannya.
Gimana, sering kah Anda lihat itu terjadi di sekitar kita?
Sekarang, dapatkah Anda beri contoh diterapkannya taktik ini dalam kehidupan kita sebagai warga Indonesia?
Dengan taktik tersebut, emosi korban dipermainkan dan dipengaruhi agar sangat memuja pihak kawan secara berlebihan dan membenci pihak musuh juga secara berlebihan. Saking bencinya, korban indoktrinasi tidak akan terpikir untuk mendengarkan penjelasan dari musuh, apalagi memahami alasan-alasan dibalik tindakannya. Pokoknya kata pemimpin dia musuh, jahat sangat, harus diperangi.
Taktik glorifikasi demonisasi dapat dikatakan berhasil jika korban indoktrinasi tidak bisa lagi melihat, atau malah sengaja mengabaikan segala kesalahan/keburukan yang dilakukan pihak kawan tapi tetap bersemangat untuk kritis pada berbagai keburukan yang dilakukan pihak lawan.
Taktik ini biasanya diterapkan oleh para pemimpin yang menggunakan taktik pecah belah (divide and rule / adu domba) untuk melestarikan kekuasaannya.
Gimana, sering kah Anda lihat itu terjadi di sekitar kita?
Sekarang, dapatkah Anda beri contoh diterapkannya taktik ini dalam kehidupan kita sebagai warga Indonesia?
01 Maret, 2012
Peran Pendidikan
Banyak anak usia sekolah sudah kecanduan rokok, ada pula tua bangka berpendidikan S2, dosen pula, tapi masih kuatir aqidahnya hancur lebur hanya gara-gara salam agama lain.
Diantara para penyelenggara negara juga masih banyak S1, S2 atau S3 yang mudah dipengaruhi untuk mengutamakan kepentingan partainya diatas kepentingan rakyat banyak, tega mengadudomba menggunakan agama, atau rajin korupsi karena indoktrinasi orang tua yang menuhankan materi.
Indoktrinatornya beda, doktrinnya berbeda, tapi hasilnya sama: masyarakat yang mudah dibodohi, diadudomba, dikadali.
Diantara para penyelenggara negara juga masih banyak S1, S2 atau S3 yang mudah dipengaruhi untuk mengutamakan kepentingan partainya diatas kepentingan rakyat banyak, tega mengadudomba menggunakan agama, atau rajin korupsi karena indoktrinasi orang tua yang menuhankan materi.
Indoktrinatornya beda, doktrinnya berbeda, tapi hasilnya sama: masyarakat yang mudah dibodohi, diadudomba, dikadali.
Bahaya Indoktrinasi
Tentu tidak setiap indoktrinasi dilatarbelakangi niat jahat dan
tidak setiap indoktrinasi berakibat sangat buruk. Akan tetapi yang
namanya indoktrinasi hanya sukses disebut indoktrinasi jika dan hanya
jika berhasil "melumpuhkan" sesuatu yang membedakan manusia dari
binatang jalang: Kemampuan bertanya, mengkritisi dan menguji.
Nah, korban yang sudah dibiasakan untuk tidak berpikir kritis memungkinkan sang indoktrinator untuk bebas memperbudak pikiran dan memanipulasi korban sesuai keinginan mereka. Mengubah manusia dari mahluk berpikir menjadi domba-domba yang patuh secara membabibuta.
Keluguan kronis itu menjelaskan mengapa banyak dari kita masih
Nah, korban yang sudah dibiasakan untuk tidak berpikir kritis memungkinkan sang indoktrinator untuk bebas memperbudak pikiran dan memanipulasi korban sesuai keinginan mereka. Mengubah manusia dari mahluk berpikir menjadi domba-domba yang patuh secara membabibuta.
Keluguan kronis itu menjelaskan mengapa banyak dari kita masih
Mangsa empuk indoktrinator
Paling rentan dan paling mudah diindoktrinasi biasanya adalah orang yang tidak
terbiasa berpikir kritis, malas bertanya dan malas mencari fakta.
Biasanya yang seperti itu sejak lahir dibiasakan percaya tahayul dan mitos yang wajib dipercaya tanpa bisa dipertanyakan. Masa kecil bersama ancaman pamali, ora ilok dan berbagai teror ghaib lainnya, lalu tumbuh dewasa dengan keyakinan kaffah pada dongeng-dongeng suci warisan leluhur.
Terbiasa menerima kebenaran "versi otoritas" membuatnya jarang penasaran, malas mengkritisi, apalagi menguji kebenarannya. Daripada repot mikir, mending ikut saja lah sama pemimpin. Begitulah prinsipnya dia.
Tapi apa benar korbannya hanya dari kalangan yang malas berpikir?
Biasanya yang seperti itu sejak lahir dibiasakan percaya tahayul dan mitos yang wajib dipercaya tanpa bisa dipertanyakan. Masa kecil bersama ancaman pamali, ora ilok dan berbagai teror ghaib lainnya, lalu tumbuh dewasa dengan keyakinan kaffah pada dongeng-dongeng suci warisan leluhur.
Terbiasa menerima kebenaran "versi otoritas" membuatnya jarang penasaran, malas mengkritisi, apalagi menguji kebenarannya. Daripada repot mikir, mending ikut saja lah sama pemimpin. Begitulah prinsipnya dia.
Tapi apa benar korbannya hanya dari kalangan yang malas berpikir?
Langganan:
Postingan (Atom)