12 Maret, 2012

Pentingnya Sensor dalam Pelestarian Kekuasaan

Melindungi Anda dari Kenyataan
Salah satu kegiatan terpenting dalam taktik indoktrinasi adalah sensor.

Kita lebih mudah diindoktrinasi jika sejak kecil dibiasakan menelan mentah-mentah segala informasi terdistorsi sebagai fakta, padahal kebanyakan yang kita telan itu adalah informasi yang sudah dimutilasi, sudah disensor oleh mereka yang kita hormati.

Memang sepanjang sejarah, para penguasa tercatat gemar melakukan sensor informasi. Perlu diingatkan?
  • Dicap kafir dan dibungkam sampai mati karena menyebarkan informasi bahwa bumi mengelilingi matahari, oleh gerombolan yang diyakini lebih dekat dengan Tuhan.
  • Bakar-bakar buku karena isinya tidak sesuai dengan kepentingan rezim yang berkuasa:
    • Di Zaman Mongol Baitul Hikmah dibakar
    • Zaman dinasti Qin tak cuma buku dibakar, orangnya sekalian.
    • Nazi bakar buku, musuhnya juga ikutan.
  • Dan lain-lain. Silakan beri contoh sensor informasi di Indonesia, tapi jangan aksi pak Tiffy, secara beliau masih berkuasa, ndak sopan nanti ;)
Itu tadi sensor yang eksplisit, terang-terangan, tanpa malu-malu.

Ada pula sensor yang halus lembut,
biasanya menakut-nakuti sedikit, atau semacam himbauan agar kita menjauhi  informasi (buku, situs atau orang) tertentu dengan alasan "dapat merusak iman" atau "resiko tergoda setan". Seolah para pelarang yakin betul bahwa kita tak mampu berpikir sendiri hingga gampang tergoda. Ya tentu saja mereka tahu, karena mereka sendiri yang bersusah payah membentuk kita untuk tak mampu berpikir. Karena kekuasaan mereka atas kita memang sangat bergantung pada lestarinya kebodohan kita.

Seorang pemimpin, pemuka agama atau kepala sekte yang jago sangat, malah dapat membuat para pengikutnya untuk melakukan sensor sendiri.

Jika kita jenis yang kurang cerdas dan gampang fanatik, kita akan diprogram untuk menutup diri, tidak mau mendengar siapapun atau membaca tulisan apapun yang tidak direstui oleh pemimpin/guru/master/murabbi. 

Sedangkan jika kita termasuk moderat yang agak mikir, kita diprogram untuk pura-pura mendengar sambil merasa open minded, tapi otomatis langsung membantah tanpa pikir panjang. Itupun sambil memuntahkan dalil-dalil standar tak masuk nalar, persis seperti dalil-dalil yang biasa dijejalkan sang pemimpin langsung ke bawah sadar kita.

Bagi yang mendengarkan, mungkin kita tampak konyol seperti korban cuci otak, padahal di mata kita justru mereka yang konyol, sesat dan hatinya tertutup pantat iblis.

Kita dibiasakan untuk mencapai kesimpulan final dan menemukan "kebenaran sejati" hanya berdasarkan "fakta-fakta" sepihak yang sudah termutilasi dan terdistorsi. Kita dibuat malas untuk mencari fakta sendiri, kita dibuat takut untuk mendengarkan informasi dari pihak lain. Akhirnya kita berprinsip "ah, yang penting niatnya baik" lalu melesat membabibuta setiap kali pemimpin menarik picu. Akhirnya bom bunuh diri pun akan kita lakukan, yang penting niatnya baik.

Lewat sensor, manusia memang jadi lebih mudah diindoktrinasi dan mudah diarahkan untuk apapun sesuai kepentingan sang indoktrinator.

Coba yuk introspeksi bentar. Apakah kita ternyata suka menelan bulat-bulat apapun kata pemimpin tercinta? Malas mencari sendiri informasi dan data dari pihak lain? Malas berpikir dan mengolah berbagai informasi yang bertentangan?

Kalau iya...

Berarti kita hampir lulus jadi korban indoktrinasi. Itu semua gejala awal dimana kemanusiaan kita sedang dimutilasi menggunakan informasi yang terdistorsi. Kita sudah bukan lagi khalifah berakal yang mampu memimpin (minimal) dirinya sendiri.  Kita sedang diubah jadi robot domba lugu yang remotenya dalam genggaman sang gembala.

Gimana, pernah memeluk sebuah keyakinan yang sangat bergantung pada aksi sensor? Atau pernah menggunakan sensor untuk memperbudak pegaw.. eh, orang? Atau punya solusi untuk pengobatan?  Atau pencegahan?

Monggo.
3

3 komentar:

  1. eng... gw ceritain ya, Om Gorila...

    dulu gw sempet ngasih buku ringkasan Das Kapital-nya Karl Marx ke temen-temen salaf bercadar yang nggak percaya kalo Islam itu sebenernya sosialis. soalnya gw sempet bilang kalo baca buku jangan yang cuma dirujuk sama murabbi-nya aja. padahal kuliahnya ya di sastra Inggris sama Perancis. eh, abis itu gw disetelin kaset rukyah seminggu. ya gw bales pake mp3 KoRn sih.

    terus waktu gw ngusul ke temen yang pengusaha perkebunan di Lampung supaya bikin perpus anak, katanya, "yah, ntar pada pinter. susah gw-nya."

    lieur... gw juga bingung euy gimana "ngobatin"nya. tapi kalo dibilang penyakit sih ga tepat juga ya. temen-temen gw itu semuanya udah pada step up to the next level of life kok. udah pada beranak-pinak dalam keluarga samara. yang atu lagi juga perkebunannya malah tambah maju. dan sepertinya idup mereka nyaman-nyaman aja.

    dan sepertinya mendingan kemanusiaan gw dimutilasi menggunakan informasi yang terdistorsi biar idup gw nyaman kek mereka. tempting...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dik Pito, bilang sama teman pekebun supaya tak usah takut bikin perpus anak. Nanti kan bisa dipenuhi dengan buku ahlak agama, kitab-kitab kuning, buku motivasi ala Mario Teguh atau The Secret, jangan lupa buku-buku Murakami. Niscaya anak-anak akan jadi pekerja yang semakin giat yang sukses dan optimis pada masa depan pabrik tempatnya bekerja. Itu juga kalau ada yang baca. Paling juga itu tempat cuma jadi tempat ngadem sambil merokok, tak akan berbahaya.

      Hapus
    2. Om, Murakami itu bukan buat anak-anak. serius.

      Hapus