Adu domba, pecah belah, divide et impera tidak cuma terjadi di zaman
Belanda. Hari ini pun masih sering terjadi. Rakyat di adu, supaya sibuk
sendiri, sementara para penguasa menikmati berbagai hasilnya.
Dulu jaman SD, saya memahami taktik ini sebagai : mengadudomba calon mangsa agar lemah dan tidak kompak, lalu Belanda datang sebagai musuh dari
semuanya dan dengan mudah mengalahkan domba-domba dungu yang lelah
saling bertempur itu. Ternyata kini prakteknya jauh lebih lebih kompleks. Yang melakukan
pun bukan kompeni “dari luar sana”, tapi justru oleh para pimpinan dan
pemuka kita sendiri.
Jika ada
“musuh bersama”, maka sang indoktrinator bisa memposisikan diri sebagai
“pelindung” atau “pembela umat” dari ancaman musuh. Dengan begitu umat
jadi lebih mudah diatur dan dipengaruhi. Itulah makanya banyak pemimpin yang menyukai taktik ini.
Atau jika umat mulai tidak setia, tidak patuh, dan terancam bubar,
maka
tersedianya musuh dan ancaman juga bisa membuat umat kembali setia
dan kembali kompak.
Karena itulah, sang indoktrinator, eh, maksudnya sang pemimpin tidak
akan segan untuk menciptakan “musuh” untuk diperangi oleh umat.
"War on terror", "melawan pornoaksi", "Perang melawan perusak ahlaq" adalah berbagai kata kunci yang bisa Anda analisa. Siapakah yang diuntungkan? Apakah aksi-aksi tersebut tulus mencari akar masalah demi penemuan solusi, atau hanya sarana untuk memicu konflik dan meraih kuasa?
Dan jika menciptakan musuh baru terlalu mahal, kita bisa pilih cara yang lebih praktis: Manfaatkan
musuh yang sudah ada.
Eksploitasi saja bibit perselisihan yang telah
tersedia.
Pempimpin yang milih cara itu akan menghindari segala usaha untuk mencari solusi damai dengan lawan, bagi mereka justru lebih menguntungkan jika perselisihan yang ada diperuncing dan dipakai untuk memprovokasi
umat.
Memelihara biang onar padahal seharusnya bisa dilenyapkan bisa jadi contoh.
Oh, biasanya dalam adu domba akan tercium pekatnya glorifikasi dan demonisasi. Itu perlu dilakukan agar umat dari masing-masing kubu bisa diyakinkan bahwa musuh adalah
penjahat sempurna yang tidak ada baiknya sama sekali, tidak pantas ddengar penjelasannya. Dengan begitu umat tidak mungkin menguji kebenaran dari berbagai informasi sepihak yang disodorkan pemimpin.
Konflik bisa terus dipertahankan, begitu juga dengan kekuasaan :)
Punya contoh bagaimana seorang pemimpin memilih memperuncing konflik, menganjurkan pertikaian dan kekerasan sementara ada jalan lain yang lebih damai?
Silakan berbagi.
Keren!
BalasHapus